Retnadi Nur’aini: Saat menerjemahkan, saya ingin sekali memudahkan editor

Nama Retno, demikian panggilan akrab ibu dua anak ini, tertera di halaman hak cipta novel remaja Prom and Prejudice karangan Elizabeth Eulberg (Bentang Belia) dan novel romance The Substitute Millionaire karya Susan Mallery (Gramedia Pustaka Utama). Retno juga terlibat penerjemahan kolaboratif biografi Steve Jobs yang ditulis Walter Isaacson (Bentang Pustaka). Kali lain, ia menggarap tugas pre-publishing review untuk suatu penerbit di Jakarta.

Berikut obrolan saya dengan Retno terkait kepenerjemahan, membagi waktu, dan keluarga.

1. Dulu Retno pernah menjadi editor in house dan bersentuhan dengan buku-buku terjemahan juga. Adakah “jetlag” yang dialami ketika menjadi penerjemah lepas dan beralih genre?

Tentu ada. Yang paling berasa adalah lokasi kerja. Dulu saya harus ngantor pagi-pagi, nggak jarang pulang larut malam. Sekarang saya bisa kerja dari rumah dengan waktu yang relatif lebih fleksibel.

“Jetlag” genre juga sempat saya alami saat menerjemahkan roman, yang merupakan wilayah baru bagi saya. Namun, bagaimanapun juga, kita harus profesional dan berusaha memberikan hasil terjemahan yang maksimal.

Saya pikir, setiap pekerjaan yang pernah saya jalani adalah kesempatan saya untuk belajar. Belajar menulis feature, saat bekerja sebagai wartawan cetak. Belajar menulis secara sederhana saat bekerja di suatu penerbit anak. Begitu pula dari setiap buku terjemahan, apa pun genrenya. Saya belajar bahwa setiap penulis memiliki gaya dan citarasa tersendiri untuk meramu kalimat, plot, tokoh, permainan kata, dll.

2. Dari buku-buku berbahasa Inggris yang pernah Retno baca dan berkesan, manakah yang paling ingin Retno terjemahkan sendiri saking sukanya?

The House on Mango Street, karya Sandra Cisneros. Secara garis besar, kumpulan prosa liris ini berkisah tentang gadis berusia 12 tahun bernama Esperanza. Esperanza bercerita tentang rumah barunya, tetangga-tetangganya, teman-temannya, masa pubertasnya, mimpi-mimpinya, sampai pelecehan seksual yang dialaminya. Semua dituturkan apik dengan judul-judul bab sederhana, seperti: Hips, Geraldo No Last Name, What Sally Said, Alicia & I Talking on Edna’s Steps, serta No Speaks English. Bagi saya, membaca buku ini bagai membaca rangkaian puisi yang bercerita dengan sederhana, namun indah. Kalimat favorit saya: “You can never have too much sky. You can fall asleep and wake up drunk on sky and sky can keep you safe when you are sad. Here there is too much sadness and not enough sky…” (hal 33)
3. Bagaimana tips Retno membagi waktu mengurus anak-anak yang masih balita dengan kegiatan menerjemahkan?

Bukan tips kali ya, karena saya sendiri masih pontang–panting mengatur waktu :D Prioritas utama kegiatan saya dari pagi-sore adalah momong anak-anak (yang berusia 3 tahun dan 9 bulan) serta berkegiatan bareng mereka. Usai shalat subuh, saya berusaha merampungkan pekerjaan administratif di toko buku online milik saya (seperti: pesan buku ke vendor, menjawabi pertanyaan pembeli via PM, e-mail, SMS, bungkus-bungkus paket, update web, membuat laporan keuangan titip jual, dll). Saat anak-anak sudah bangun dan masih ada pekerjaan administratif yang mesti saya kerjakan, saya akan bilang ke mereka “Mama kerja dulu sebentar ya.”  Kalau belum beres juga, saya teruskan saat anak-anak tidur siang.

Nah, untuk pekerjaan yang menuntut konsentrasi tinggi seperti mengedit atau menerjemahkan, saya kerjakan waktu anak-anak tidur malam (sekitar pukul 22-subuh).  Karena saat itulah, saya bisa menerjemahkan tanpa banyak interupsi dari anak-anak (selain menyusui si kecil setiap 2-3 jam sekali). Betapapun, ritme ini cukup menguras tenaga saya. Karena itulah saya memutuskan cuti menerjemahkan dan jualan buku untuk sementara.
4. Apakah suami suka membaca hasil terjemahan Retno dan berkomentar? Kalau ya, ketika sedang proses atau sudah terbit?
Kalau baca, jarang :D Beliau juga cukup sibuk. Tapi saya sering bertanya pada beliau saat mentok mencari padanan kata.
5. Apa kiat Retno menjaga kesehatan, terkait pekerjaan menerjemahkan yang mau tak mau sering duduk dan menatap layar komputer?

Pakai kursi kerja yang nyaman. Saya pakai kursi semi sofa dengan bantalan tebal, supaya nggak pegal. Dan supaya nggak gliyengan, saya selalu berusaha menyempatkan tidur siang, meski hanya 20 menit.

6. Apakah menurut Retno, penerjemah yang bekerja di rumah “wajib” memiliki sudut kerja khusus? Mengapa?

IMHO, sudut kerja penting bagi setiap freelancer, bukan hanya penerjemah. Selain mendisiplinkan diri, sudut kerja ini bisa mengajarkan anggota keluarga lain untuk memahami profesi freelancer. Anak pertama saya sekarang sudah paham, kalau saya buka laptop artinya “Mama yagi ke(r)ja.”
7. Apa pengaruh pengalaman bekerja di kantor dulu (yang penerbitan) terhadap kinerja setelah menjadi penerjemah lepas sekarang?


Yang paling terasa adalah disiplin. Kerap bekerja dengan tenggat ketat mengharuskan saya berpikir cepat, bekerja secara efektif dan efisien. Saat menerjemahkan, saya membuat target harian sekian halaman.

Pengaruh lainnya adalah kebiasaan riset. Di kantor penerbit yang dulu, saya biasa menghabiskan waktu berjam-jam untuk riset ide, referensi gambar untuk ilustrator, referensi lanskap untuk thumbnail gambar, dll.  Tujuannya, memudahkan ilustrator memahami konsep gambar yang saya inginkan.

Saat menerjemahkan, saya ingin sekali memudahkan editor. Jadi, saya terbiasa melampirkan tabel referensi untuk idiom dan kata-kata sulit. Dibuat dengan format excel, kolom tabel tersebut adalah: halaman teks terjemahan, teks terjemahan saya, teks asli, arti dalam bahasa Inggris, sumber. Untuk memudahkan editor mencari kata yang saya maksudkan, pada teks terjemahan kata tersebut saya bubuhi stabilo berwarna.

Format ini sekadar kreasi saya aja sih :D Kalau-kalau ada teman-teman penerjemah lain yang bersedia berbagi format tabel referensi, saya mau banget belajar :D
8. Apakah seseorang yang mengenyam pengalaman sebagai editor in house otomatis memiliki nilai lebih ketika melamar menjadi penerjemah atau harus mau mulai dari bawah lagi, menurut Retno?

Menurut saya, apa pun pekerjaan terdahulu dan latar belakang pendidikan serta pengalamannya, kemampuan calon penerjemah akan tampak dari hasil tes. Orang yang sering keluar negeri dan fasih berbahasa Inggris misalnya, belum tentu memiliki perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia yang kaya. Sekadar ‘paham’ bacaan bahasa Inggris belum tentu mampu mengalihgagasankan bacaan tersebut dengan konteks Indonesia yang pas.

Bahasa terus berkembang. Dan IMHO, untuk maju, orang mesti membuka dirinya untuk terus belajar.

9. Apakah penerjemah yang sibuk merawat keluarga dan mempunyai anak masih kecil-kecil sehingga relatif lebih memerlukan energi serta fokus untuk memprioritaskan mereka sebaiknya diserahi tugas mengalihbahasakan buku anak saja?

Waduh, saya nggak berani sampai menyarankan genre begitu :D Menurut saya sih, boleh-boleh saja kok, kalau mau menerjemahkan selain genre buku anak. Namun alangkah bijaknya, kalau memilih buku yang tipis atau kalaupun tebal, tenggatnya masuk akal. Saya pribadi tak berani menerima terjemahan dengan tenggat singkat. Rata-rata terjemahan yang saya terima tenggatnya berkisar 1-3 bulan.

Un commentaire sur “Retnadi Nur’aini: Saat menerjemahkan, saya ingin sekali memudahkan editor

Répondre à Retnadi Annuler la réponse.