Mengubah Kebiasaan

Tatakan cangkir iseng saya pakai sebagai mousepad cadangan.
Tatakan cangkir iseng saya pakai sebagai mousepad cadangan.

Suami bilang, saya pembosan. Dan saya akui itu. Selama hampir enam tahun kami tinggal di rumah ini, sudah lebih dari lima kali saya pindah posisi meja kerja. Semuanya memberikan kesimpulan yang jelas: saya tidak betah duduk lesehan sambil ngetik, apalagi memangku laptop. Selain mudah kesemutan, saya sangat pelupa. Kalau tahu-tahu berdiri atau bangkit sedangkan laptop belum diletakkan dengan baik, wah… bisa terbanting. Gawat.

Karena suami yang membenahi dan membereskan tataletak meja kerja saya itu, sering kali membuatkan perangkat tambahan dan angkut-angkut pula, otomatis dia kena imbas kejemuan saya. Acap kali dia tidak ingin pindah, tapi karena kasihan pada saya, jadi tukar tempat. Apa boleh buat, sesekali mencoba hal baru (dalam skala kecil, saya belum berani yang drastis-drastis) ternyata bermanfaat positif untuk kreativitas dalam bekerja.

mejaluar

Sebenarnya saya hobi sekali kerja pagi hari, namun semenjak jalur rumah kami dilewati pesawat sekitar setahun belakangan, pagi tidak tenteram lagi. Lebih-lebih di akhir pekan dan musim liburan. Saya mencoba kerja siang, sore, malam, namun berusaha menghindari sebelum tidur karena biasanya pikiran terbawa berat.
Sewaktu suami menempati meja kerja di luar yang kami rancang bersama, tepatnya di ruang tamu, saya pikir itu ide bagus untuk menghemat listrik kalau ingin kerja pagi-pagi (baca: sebelum suami bangun). Dia tidur di depan TV di ruang tengah, jadi kalau saya kerja di meja sendiri harus menyalakan lampu besar dan tak enak mengganggu istirahatnya.

Panorama dari jendela
Panorama dari jendela

Hasilnya? Segar, pagi-pagi menghirup udara bersih. Bisa lihat-lihat pemandangan kalau mata pegal. Kemudian belum lama ini, saya kembali ke meja sendiri karena butuh ruang lebih. Memakai dua monitor agar bisa melihat lebih jelas, dan harapan saya, tidak sering terlewat kalau mengedit atau menerjemahkan. Ini juga kali kedua saya beradaptasi dengan Windows 7 gara-gara « terpaksa ». Pabrikan laptop mengharuskan OS satu itu, meski saya tak terlalu suka.

Memanfaatkan monitor PC yang CPU-nya mati suri.
Memanfaatkan monitor PC yang CPU-nya mati suri.

Tapi seperti adaptasi dengan Office 2007, ini ada unsur serunya juga. Saya jadi tahu beberapa hal… misalnya, sejumlah program kamus yang tidak kompatibel. Belum lagi program lain yang agak penting. Sampai tulisan ini dibuat, saya belum sukses pairing bluetooth. Dan dikarenakan install driver digicam bertepatan dengan sudah tutupnya produsen merek digicam itu, saya hanya bisa copy foto-foto ke Ceri, laptop suami.

Mouse yang dulu kekecilan untuk tangan saya yang sadis, kata suami.
Mouse yang dulu kekecilan untuk tangan saya yang sadis, kata suami.

Mengubah kebiasaan demi kesegaran juga bisa dengan kembali ke rutinitas lama. Sebut saja, memakai aplikasi YM dan bukan client-nya, Pidgin, yang saya akrabi sekian tahun. Alhamdulillah, YM « aslinya » versi terbaru kini lebih enak dilihat dan rapi karena kotak chat tidak bertebaran memenuhi monitor lagi. Dan gara-gara YM-an juga, saya jadi tahu share foto di sana bisa langsung tampil di kotak obrolan. Skin-nya pun bisa diganti warna hitam favorit saya.

Seiring hadirnya Toshi, hadir pula tanggung jawab baru agar lebih hati-hati merawatnya:)
Seiring hadirnya Toshi, hadir pula tanggung jawab baru agar lebih hati-hati merawatnya:)

Sampai kini saya masih belajar dan utak-atik OS « baru », jadi pengasah otak tersendiri sekalian agar tidak bosan. Omong-omong, alhamdulillah, saya sudah bermitra lagi dengan perangkat kerja bernama Toshi. Seperti lirik lagu Koes Plus, « Kembali, kembali kita bersama-sama lagi… »

 

Laisser un commentaire