Menerjemahkan Buku Seri (2)

123rf.com

Sejak tahun lalu, saya mulai menggarap buku seri dari bahasa Inggris yang bukan (hanya) bacaan anak. Pollyanna memang semula mengisahkan ketika ia masih kanak-kanak, walau buku tersebut bisa juga dikonsumsi orang dewasa. Namun di buku kedua, ceritanya seputar masa remaja yang menuju dewasa karena mulai membicarakan percintaan dan pernikahan.

Karena ini seri fiksi pertama saya yang lebih umum, terus terang saya gembira mengetahui bukunya hanya dua. Sebelumnya saya sempat sedih sebab buku klasik lain yang saya garap tidak jadi terbit, tetapi saat mengetahui serinya panjang sekali dan saat terbit di imprint lain pun penerjemahnya berganti-ganti, saya tak urung lega juga. Pasalnya, sependek pengetahuan saya, jarang penulis yang bisa menjaga ritme cerita. Setidaknya, kalau bukan makin lama makin meningkatkan ‘keseruan’ isi, skor kualitas kemenarikannya dipertahankan. Dengan kata lain, napas panjang tidak hanya berlaku untuk penulis, namun juga penerjemah dan penyuntingnya.

Ketika membaca postingan Mbak Poppy soal pentingnya mencatat istilah, saya teringat bahwa saat menggarap seri Pollyanna itu, saya tidak menyusun daftar apa pun. Bukan berarti tidak ada yang perlu diselaraskan, minimal istilah glad game yang saya terjemahkan ‘permainan sukacita’ akan fatal kalau diubah lagi di buku berikutnya.

Kalau dulu saya menerima ‘hibahan’ alias sekuel buku yang digarap penerjemah lain, tahun ini giliran saya yang ‘menghibahkan’ kelanjutan. Lagi-lagi karena waktu itu masih ‘hijau’, saya tidak menyusun daftar istilah. Syukurlah, penerjemah sekuelnya sudah membaca buku pertama dan kemungkinan siap membuat acuan secara manual.

Memang penerjemah seri mempunyai komitmen tak tertulis. Idealnya, ia juga yang menggarap seluruh buku sampai tuntas sehingga tak ayal menabrak jadwal (atau terpaksa merangkap dengan agenda yang sudah berjalan) mengingat nasib kelanjutan buku kerap kali berjarak sangat lama dan tak terduga. Namun bukan satu-dua kasus saja yang mengharuskan pengalihan penerjemahan dikarenakan bentrokan yang terlalu berisiko. Kalau buku pertama sudah terlampau lama terbit, sering kali penerjemah lupa ceritanya (paling-paling garis besar semata) dan harus membaca ulang. Memakan waktu, bukan?

Kendala khas menerjemahkan buku seri masih saya temui. Cukup sering, satu istilah yang mengharuskan memeras otak baru diketahui pemecahan paling pasnya di bab-bab menuju akhir. Itu terjadi karena saya menemukan rujukan lengkap penggemar seri tersebut yang dengan setia menguraikan banyak penjelasan, bahkan lebih bisa dimengerti ketimbang saat saya berkonsultasi dengan pengarangnya. Saya maklum saja kalau tidak semua pengarang bisa menjawab cepat, karena sibuk tur buku ke beberapa negara, misalnya.

Kembali ke peristilahan yang terpaksa berubah tadi, saya harus kembali ke bab awal (dan jumlahnya dua puluhan bab) serta mengecek ulang semuanya. Perubahan ini kadang tidak terjadi sekali. Katakanlah ada istilah yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia meski berisiko tidak konsisten, tapi setelah berbab-bab kemudian dan membaca referensi, sepertinya lebih baik dikembalikan ke istilah semula. Kalau sudah disetor, saya harus merepotkan editor kecuali bisa mencuri waktu untuk memperbaiki sendiri dan mengirimkan ulang naskahnya.

Fakta menarik soal buku seri ini, bila penerbit bersangkutan hendak menerjemahkan buku lain yang juga ditulis pengarang tersebut, biasanya penerjemah sebelumnya yang dikontak dan ditawari lantaran dianggap sudah mengenal gaya tutur si pengarang. Namun dengan alasan klasik, yakni jadwal, saya terpaksa menolak tawaran itu. Sesungguhnya menarik untuk mengetahui eksplorasi kreatif yang disuguhkan pengarang dalam seri bergenre beda-beda, sekaligus mengukuhkan penuturan seorang editor in house yang juga saya sepakati bahwa loyal (baca: ‘fanatik’) pada satu pengarang itu sukar. Kadang satu tema digarapnya dengan bagus, tema lain belum tentu.

Gambar dipinjam dari 123rf.com

6 commentaires sur “Menerjemahkan Buku Seri (2)

  1. Aku juga pernah menggarap buku kedua dari buku seri. Malang bagiku karena engga dapat warisan daftar istilah. Aku tak kehabisan akal. Aku cari e-book buku pertama (untuk kepentingan ilmiah saja ;)) lalu kalau di buku kedua aku menemukan istilah yang menurut firasatku adalah istilah yang kemungkinannya dipakai di buku pertama, aku search di e-book. Kalau ternyata ada, aku cari padanannya di buku pertama yang sudah diterjemahkan. Ribet ya? Tapi alhamdulillah yah, berhasil juga.
    Ehm… karena aku menggunakan alat bantu penerjemahan berupa program, membuat daftar istilah jadi lebih mudah bagiku 😉

    1. Hmm, ya memang repot kalau pas buku pertamanya juga belum baca/punya. Jadi ingat pengalaman seorang proofreader yang bahkan ngebut membaca buku pendahulu dalam seri yang dialihkan padanya. Katanya, kalau bukan karena tugas, mungkin ia tidak akan pernah baca buku itu, hihihi…

  2. Aku juga pernah mengalami yang seperti itu, Mbak.
    Untungnya editor berbaik hati mengirimkan file terjemahan buku pertama (buku terjemahan belum diterbitkan) 😀
    Untungnya lagi, aku berhasil menemukan file aslinya. Hihihi.
    Selanjutnya seperti Mbak Dina Begum. Bolak-balik kedua buku dan memasukkan daftar istilah ke wordfast (bisa saja diakalin pakai excel) 😀

    1. File terjemahan buku pertama? Oh ya ya… betul juga. Makasih Nui, sudah diingatkan. Aku mau kirim ke penerjemah lanjutan itu, ah:D

  3. hai, rin, aku pernah mengalami menggarap « warisan » buku kedua, bahkan buku keempat. alhamdulillah, tidak terlalu berat karena aku menjaga komunikasi dengan penerjemah/penyunting sebelumnya dan mempersenjatai diri dengan daftar istilah. kendalanya memang waktu pengerjaan jadi lebih lama karena aku harus skimming paling ga buku pertama dan kedua, dan membaca berbagai review yang membahas buku tsb.

Répondre à admin rinurbad.com Annuler la réponse.